Era milineal merupakan era politik yang dilakukan oleh semua kalangan, tidak hanya kaum tua tetapi juga kaum muda. Berbagai upaya dilakukan dalam berstrategi demi suatu kepentingan.
Apa itu politik adu domba?
Dalam ulasannya, politik adu domba yang kita ketahui adalah kombinasi strategi politik, militer dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik adu domba juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Awalnya, stategi ini merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad ke-15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Perancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam terutama diwilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode mereka mengalami perkembangan. Sehingga politik adu domba ini tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik.
Tidak sedikit para penguasa dan yang akan berkuasa menggunakan strategi ini. Pembunuhan karakter menjadi satu dari sekian banyak peluru yang dianggap lebih hebat. Dampaknya, menjadikan musuh lebih terlihat paling bodoh dan paling nista diantara sekian banyak manusia. Dalam birokrasi, politik ini juga lebih sering digunakan dengan tujuan mendorong timbulnya ketidakpercayaan, mendorong perpecahan dan melemahkan kemampuan seseorang di dalam suatu organisasi. Bisa dikatakan kejam, namun pernahkah kita berpikir bahwa strategi ini sebenarnya adalah penunjukkan dari ketidakpercayaan diri kita terhadap kualitas kemampuan yang ada pada diri kita. Bersaing secara sehat dan adil dengan pengakuan kualitas kinerja bukankah lebih bijak daripada menjatuhkan kedudukan orang lain.
Sayangnya, pada kenyataannya politik adu domba ini sudah menjadi tradisi strategi komunikasi diberbagai bidang dan organisasi, baik bidang pendidikan, agama, bahkan mungkin di lingkungan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dalam organisasi hal ini juga sudah dianggap lumrah bahkan sering dijadikan sebagai alat dalam memperoleh kekuasaan dan mendorong perpecahan. Kemampuan pada akal (intelektual) kita merupakan bawaan lahir dan sebagian besar tidak berubah (Jeanne Segal, 1997:29). Ini dapat disimpulkan bahwa kecerdasan itu dituntut untuk memahami serta menguasai untuk berpikir baik itu rasional maupun bersifat kemampuan yang mencakup pada prinsip-prinsip yang masuk akal (Nuryadin& Bakar, 2016). Kita sebagai manusia yang berakal sehat seharusnya dapat meminimalisir terjadinya perpecahan. Sebab perbedaan haluan dan pola pikir orang yang satu dengan lainnya adalah hal yang wajar.
Di tengah kehidupan bermasyarakat, di tengah era informasi yang sangat liberal, politik adu domba itu menjadi tontonan sehari-hari. Seseorang yang sudah terjangkit virus adu domba ini nyaris tak peduli lagi tentang perdamaian, tetapi mereka akan fokus pada masalah yang sebenarnya kurang substansial untuk mencapai kepentingan pribadi dan suatu golongan. Jika hal tersebut terus dibiarkan jelas akan membahayakan demokrasi. Masyarakat dikaburkan kesadaran dan logikanya dengan isu yang sama sekali tidak relevan digunakan untuk berdemokrasi. Pasalnya, dalam negara demokrasi, semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Disinilah peran kebijakan pimpinan sangat penting. Seorang pemimpin dalam suatu organisasi atau lembaga dituntut untuk selalu bijak dalam memberikan solusi pada setiap permasalahan yang ada. Tentunya dengan tidak mengutamakan kepentingan pribadi diatas segala-galanya.